Breaking News

Ibadah Haji ; Kesabaran dan Etos Kerja !

Foto: Dr. Lalu Sirajul Hadi, MPd.

Oleh D. Lalu Sirajul Hadi, MPd.


MAKAH | ErakiniNews.Com - Tidak ada manusia yang tidak wajib bersyukur, manakala ia menjadi manusia terpilih, mendapatkan undangan kelas istimewa dari Allah. Undangan sebagai duyufullah-duyufurrahman (Tamu Allah), yang diberikan waktu dan kesempatan untuk berkunjung ke Baitullah, Makah Almukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji, rukun Islam kelima. Menunaikan ibadah haji, ternyata bukan semata-mata pada persoalan kemampuan secara material, namun juga menyentuh dimensi lain manusia.


 Banyak orang yang secara ekonomi memiliki kemampuan (harta) cukup bahkan berlebih, tapi belum "tertarik" untuk segera menunaikan ibadah Haji. Begitu juga sebaliknya, banyak orang yang secara ekonomi memiliki kemampuan  pas-pasan, bahkan kurang, tetapi justru memiliki semangat dan ghiroh yang luar biasa, sehingga dapat melaksanakan ibadah Haji.


Melaksanakan ibadah haji sebagai bentuk penyempurnaan atas keislaman seseorang, memiliki perspektif yang kompleks. Ibadaj haji pada praktiknya adalah sebuah pergumulan spiritual yang sarat dengan dinamika emosional, selain kemampuan secara fisik (material). Bahkan pada beberapa fase dan proses peribadatan (manasik), rukun,wajib dan sunnah haji yang dilakukan, tidak semua mampu ditembus oleh nalar dan logika manusia. Oleh sebab itu, Haji bukan saja tentang perkara diakhir, tetapi juga perkara diawal. Perlu totalitas, kesiapan,ketulusan, kesetiaan lahir dan bathin bagi siapapun yang akan melaksanakannya.


Ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan Allah kepada manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surah Alimron ; 97 yang artinya " Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah yaitu bagi orang-orang yang mampu". Terdapat dua kata kunci dalam teks ayat ini, bahwa melaksanakan ibadah haji adalah tentang kewajiban dan kemampuan. 


Dalam perspektif praktis, pelaksanaan ibadah Haji sering kali berbenturan dengan dua kondisi. Yakni, ibadah haji memang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi, dengan segala varian cobaan,godaan dan tantangannya. Kedua, perlunya etos kerja dan profesionalitas, dalam konteks ini, dikarenakan Haji tentang manajemen, layanan dan tata kelola. Kedua kondisi ini acapkali sering berhadap hadapan, sehingga tidak jarang pula "menguji" tabiat dna perilaku setiap orang yang ada di sekitarnya.


Ibadah haji selain sebagai ibadah fisik yang tentu sangat melelahkan, juga adalah ibadah psikis. Kondisi emosional dan psikis sebagian orang yang melaksanakan, terkuras tersita dalam volume dan intensitas yang tinggi. Terhadap kondisi dan keadaan seperti ini, jawaban dan normatif sekaligus (apologi) yang positif adalah, berusaha sabar atas segala kondisi yang dialami dan dirasakan. Dalam pelaksanaan ibadah haji, bekal dan modal "Sabar" tidak boleh menipis, apalagi kehabisan. Sungguh, sulit dibayangkan jika orang yang berhaji dengan segala kondisi dan masalah yang dihadapi, di tanah air maupun di tanah suci, tidak dihadapi dan tidak diselesaikan dengan sabar. Maka maha benar Allah atas segala firmanNya, sebagaimana dalam surah Hud ayat 11 ;

الاالذين صبروا وعملوا الصالحات أولئك لهم مغفرة وأجر كبير 

 yang artinya "kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan kebajikan mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar".


Posisi sabar sebagai sifat dalam praktik ibadah haji, memiliki peran penting dan menentukan. Betapa tidak, ibadah haji yang bermakna adalah ibadah yang proses dan tujuannya linier, seperti garis lurus. Haji makbul mabrur, datang dan bersumber dari proses yang baik pula. Termasuk dalam konteks ini adalah larangan kepada siapapun yang sedang melaksanakan ibadah haji, agar menghindari rafas, fusuk dan  jidal. Suatu bentuk perilaku yang jika dilakukan dapat mengurangi fadilah dan berkah ibadah.


Ibadah haji dalam konteks manajemen dan tata kelola, memerlukan sistem yang profesional dan akuntabel. Standardisasi layanan harus dibuat sedemikian detail dan rigit, sehingga meminimalisir kondisi "eror" dalam setiap jenis layanan. Tak pungkiri, layanan haji tidak terlepas dari unsur sumber daya dan uang. Oleh sebab itu manajemen dan tata kelola yang baik menjadi keniscayaan. Sebagai ritual ibadah tahunan, layanan ibadah haji ditantang untuk mampu menghadirkan inovasi dan pembaruan layanan, kontekstual dan berbasis pada evaluasi yang objektif. Tidakkah Allah juga sangat mencintai dan mengapresiasi hambanya yang beramal sholeh. Dalam perspektif ini, amal sholeh memiliki sisi makna etos kerja, kualitas  dan profesionalitas.


Pada akhirnya, ujung dan ending dari estafeta prosesi ibadah haji, bagi siapapun yang melakukannya adalah, doa dan harapan untuk mendapat haji mabrur, di antara indikator normatif dan praktisnya adalah bagi siapapun yang telah melaksanakan ibadah haji, akan mengalami proses naik kelas secara integritas dan kapasitas, sabar dan  memiliki etos kerja yang baik. 


Wallahu'alam.


Makah, 11 Juli 2023

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close