Breaking News

Soal Berdirinya Klinik Munita, Warga Duga DLH, DPMPTP dan Dikes Muluskan Izin


MATARAM | ErakiniNews.Com - Protes warga atas dibangunnya sebuah Klinik untuk Perusahaan Tenaga Kerja (PJTKI) di jalan Pariwisata Lingkungan Pengempel Kelurahan Pejanggik Kota Mataram terus berlanjut. Bahkan warga akan membuat petisi penolakan untuk berdirinya sebuah klinik yang dikuatirkan warga akan mencemari lingkungan akibat dampak limbah media yang ditimbulkan. Pasalnya, klinik Munita Medica Utama yang bekerjasama dengan Perusahaan Jasa Penyalur Tenaga Kerja (PJTKI) PT Kijang Lombok tersebut memiliki  izin klinik beresiko menengah yang memproduksi limbah beracun atau B3. 


Bahkan warga mempertanyakan semua izin yang dikeluarkan oleh instansi terkait seperti Dinas Kesehatan, Lingkungan Hidup (DLH) maupun DPMPTSP. Padahal menurut warga, izin lokasi usaha klinik tersebut tidak sesuai peruntukannya dimana sebelumnya izin salon kecantikan berubah menjadi Klinik Medical Cek Up untuk Pekerja Migran (PMI). 


Bahkan warga menduga, ada permainan antara instansi dan pemilik klinik dalam memuluskan izin usaha yang jelas-jelas berisiko terhadap kesehatan lingkungan setempat. 


Melalui kuasanya, warga tetap meminta para pengambil kebijakan untuk meninjau kembali izin-izin yang dikeluarkan oleh Dikes sebagai pemberi izin opersinal klinik, DLH sebagai dinas yang mengeluarkan rekomendasi kajian lingkungannya seperti izin Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL/UKL).


“Kalau izin-izin yang dibutuhkan klinik itu dikeluarkan instansi seperti DLH, Dikes maupun PTSP maka saya jamin itu persyaratan yang diajukan klinik itu bohong semua. Karena saya sendiri sebagai warga yang bersentuhan langsung dengan klinik tidak pernah menandatangani persetujuan sebagai syarat rekomendasi dikeluarkannya Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang menjadi rujukan dinas DPMPTSP Kota Mataram,” ungkap Novel Salmin.


Novel Salmin yang mengaku sebagai warga yang bersentuhan langsung dengan Klinik mengklaim dibohongi terkait undangan Dikes yang dihadirinya di Kantor DLH, dimana pihak DLH, Dikes maupun DPMPTSP yang terkesan menghadirkannya di pertemuan itu memaksa menyetujui beroperasinya klinik tersebut. 


“Dalam pertemuan itu saya malah mengungkap isi kekuatiran saya terhadap keberadaan klinik itu. Namun pihak dinas seolah tidak mendengar apa yang menjadi kekuatiran saya terhadap limbah yang akan dihasilkan oleh klinik beresiko kesehatan itu,” ungkap Novel. 


Menurut Novel, para pengambil kebijakan itu apakah memikirkan atau tidak apa yang menjadi kekuatiran warga. Apakah mereka berani menjamin tidak dampak kesehatan karena aktivitas medis dari limbahnya maupun radiasi yang ditimbulkan kepada warga sekitar.


“Saya tantang dinas seperti Dikes dan LH maupun DPMPTSP untuk menandatangani surat pernyataan bahwa tidak ada pencemaran limbah akibat aktivitas medis klinik itu setelah beroperasi nanti,” tegasnya.


“Jika setelah beroperasi dan terbukti adanya pencemaran akibat aktivitas klinik itu, maka saya akan laporkan secara hukum dan dinas-dinas terkait ikut bertanggungjawab,” pungkasnya.


Senada warga, konsultan hukum warga setempat Gilang Hadi Pratama menjelaskan dalam aturan sebuah bangunan usaha tidak akan beroperasi apabila ada salahsatu warga kiri, kanan, depan atau belakang yang berkeberatan. Pasalnya, DPMPTSP membutuhkan rekomendasi PBG dari PUPR untuk mengeluarkan izin peruntukan bangunan klinik itu sendiri. 


“Tidak gampang DPMPTSP mengeluarkan izin apalagi izin usaha tersebut berbasis resiko kesehatan dengan status resiko menengah. Kemudian Dikes hanya mengandalkan PMK 14 tahun 2021 dan DLH yang mengeluarkan rekomendasi UKL UPL,” pungkasnya. 


Dalam aturan, lanjutnya, Perda 1 tahun 2022 tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis resiko. Terdapat pada pasal 19 itu pelaku usaha untuk memulai kegiatan usaha harus memenuhi persyaratan dasar salahsatunya PBG dan sertifikat Laik fungsi. 


Terpisah,  Sekretaris DLH Kota Mataram yang didampingi Kepala Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup DLH Kota Mataram mengaku sudah ada pertemuan terkait pembahasan Klinik Munita Medica Utama yang diprotes warga berdiri di pemukiman penduduk Lingkungan Pengempel Kelurahan Pejanggik Mataram. Namun, berita acaranya belum ditandatangani dan hingga saat ini juga klinik tersebut belum beroperasi. 


“Sudah ada pertemuan semua pihak termasuk warga pada tanggal 10 Mei 2023 dengan menghasilkan berita acara yang menjadi dasar kami. Klinik itu termasuk usaha dengan resiko menengah tidak tinggi sehingga hanya membutuhkan UKL UPL bukan AMDAL,” ungkapnya. 


“Jika semua persyaratan itu sudah mereka penuhi kami di dinas berani pasang badan terhadap keputusan yang dikeluarkan,” imbuhnya.


Ia menjelaskan, DLH memosisikan diri sebagai pendukung atas akvitas lingkungan dengan memberikan rekomendasi kajian lingkungannya. Rekom itu ter integritas juga dengan Dikes sebagai leding sektor yang mengeluarkan izin opersional klinik tersebut. Namun perkara lokasi izin bangunan itu menjadi kewenangan PUPR dan DPMPTSP. Terkait tuntutan warga atas penandatangan bersama jaminan tidak adanya pencemaran itu diluar otoritas dinas.


“Konsekwansinya itu dijalankan apabila setelah beroperasi terbukti adanya pencemaran lingkungan maka kami bertindak bahkan bisa menutup klinik itu sendiri,” ungkapnya.


“Dalam aturannya, klinik itu harus melaporkan aktivitas limbahnya setiap semesternya. Jika ada terbukti ada pencemaran maka konsekwensinya ada bagi klinik itu sendiri,” tutupnya.


Sementara itu, Bagian Klinik Dikes Kota Mataram, Ibu Lisa yang berusaha dikonfirmasi beralasan acuan dikeluarkannya rekomendasi izin opersional klinik Munita Medica Utama berdasarkan PMK 14 tahun 2021 terkait operasinya sebuah klinik.


“Acuan kami tetap PMK 14 tahun 2021,”singkatnya. (Piko)


E_01

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close